KARYA
TULIS ILMIAH
Pengaruh Komunikasi Islam terhadap
Kehidupan Bermasyarakat
DISUSUN OLEH
ZAINAL ABIDIN
14.3100.013
Program Studi Komunikasi Penyiar Islam
Jurusan Dakwah dan Komunikasi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negri Parepare
ZAINAL ABIDIN
14.3100.013
Program Studi Komunikasi Penyiar Islam
Jurusan Dakwah dan Komunikasi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negri Parepare
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan
makalah ini . Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai “Pengaruh Komunikasi
Islam di Indonesia”.
Makalah ini dibuat untuk memaparkan
apa saja pengaruh perkembangan komunikasi bagi kehidupan sehingga masyarakat
dapat mengetahui dampak baik dan buruknya perkembangan komunikasi dan dampak
psikologis bagi masyarakat. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas
penulis dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah yang diberikan dalam lombah
karya tulis ilmia DAKOM Awards STAIN parepare.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa
masih terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan dari para pembaca. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Parepare,
Desember2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Islam
2.2 Prinsip Komunikasi Islam
2.3 Etika Dalam Komunikasi Isalm
2.4 Etika
Komunikasi Dalam Al-Quran dan Hadits
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalamhubungannya dengan
manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia
bagaimanapun juga tidak dapat terlepas
dari individu yang lain.Secara kodrat manusia akan selalu hidup bersama. Hidup
bersama antar manusia berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi
yangmempengaruhinya.Komunikasi dapat terjadi pada siapa saja, baik antar guru
dengan muridnya.Orang tua dengan anaknya, pimpinan dengan bawahannya, antara
sesamakaryawan dan lain sebagainya. Melakukan komunikasi merupakan bagianterpenting
dari semua aktivitas, agar timbul pengertian dalam menyelesaikan
tugasmasing-masing.Komunikasi merupakan dasar interaksi antar manusia.
Kesepakatan ataukesepahaman dibangun melalui sesuatu yang berusaha bisa
dipahami bersamasehingga interaksi berjalan dengan baik. Persoalan mendasar
dari masalah initerletak pada hambatan yang muncul dalam membangun kesepahaman dan usahamencapai
tujuan secara maksimal.Hal ini biasanya melahirkan suatu kegalauan tentang
komunikasi yang baik sederhana yang
dibayangkan yang kemudian menuntun pada pemikiran tentangusaha melakukan
komunikasi secara efektif.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka
penulis tertarik untuk memarparkan pengaruh kemajuan teknologi komunikasi di
kalangan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah :
1. Apa pengertian komunkasi islam ?
2. Apa prinsip komunikasi islam ?
3. Bagaimana Etika Komunikasi dalam
Perspektif Islam?
4. Bagaimana Etika
Komunikasi Dalam Al-Quran dan Hadits
?
1.3 Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pengertian
komunikasi islam
2. Untuk mengetahui prinsip
komunikasi islam
3. Untuk mengetahui Etika Komunikasi
dalam Perspektif Islam
4. Untuk mengetahui Etika
Komunikasi Dalam Al-Quran dan Hadits
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat tulisan ini antara
lain :
1. Dapat menambah wawasan penulis
dan khalayak tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengaruh komunikasi islam
terhadap masyarakat.
2. Sebagai bahan referensi untuk
pembaca.
3. Dapat melatih siswa pada umumnya
dan penulis khususnya dalam mengembangkan wawasan diri untuk menyusun sebuah
karya tulis secara sistematis dalam bentuk makalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Islam
Komunikasi Islam berfokus pada teori
– teori komunikasi yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya
adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif, terutama
dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersesuaian dengan fitrah
penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi dengan dimensi penciptaan
fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap kesejahteraan manuasia sejagat.
Sehingga dalam perspektif ini, komunikasi Islam merupakan prosespenyampaian atau
menukar informasi yang menggunakan prinsip an kaedah komunikasi dalam Al Qur’an.
Komunikasi Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai proses penyampaian
nilai-nilai Islam komunikator kepada komunikan dengan menggunakan
prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis.
2.2 Prinsip Komunikasi Islam
Rahmawati Latief
Seorang laki-laki menghadap ke
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam
“Wahai Rasulullah, aku ingin Islam
tetapi aku tidak bisa meninggalkan zina”
“Relakah bila ibu kamu dizinai?
tanya Rasulullah dengan lembut
Lelaki itu menjawab “Tidak”
“Lalu relakah bila putri kamu
dizinai? tanya Rasulullah kembali
Lelaki itu mengulang jawaban yang
sama “Tidak”
“Dan relakah bila bibi kamu dizinai?
sapa Rasulullah kembali
Lelaki itu kembali menjawab “Tidak”.
Akhirnya Rasulullah bersabda
“Bagaimana orang lain akan rela, padahal kamu sendiri tidak rela dengan hal
itu?”.
Seketika itu juga pemuda yang
bertanya tadi membayangkan sikap orang-orang ketika kerabat mereka dizinai,
seperti sikapnya ketika kerabat wanitanya dizinai. Semangat ke-Islaman mulai
menyeruak di dalam dada dan akhirnya dia berkata “Aku bertaubat kepada Allah
dari perbuatan zina”. [1]
Perbincangan di atas
disaksikan oleh para sahabat Rasulullah, dan beberapa di antara mereka sempat
terpancing emosi karena mereka merasa kesal dengan pertanyaan pemuda tersebut
yang dianggap bertendensi hawa nafsu, tetapi Rasulullah adalah ahli komunikator
terbaik yang dimiliki oleh ummat Islam, panduan uswatun hasanah yang penuh
kasih sayang dan keteladanan. Pertanyaan pemuda tersebut ditanggapi dengan
berbagai pertanyaan retoris yang mampu membangkitkan kesadaran seorang pemuda
yang gemar berzina untuk bertaubat kepada Allah subhanahuwataala. Beliau tidak
perlu meninggikan suara, marah tanpa terkontrol, atau menunjukkan kekesalan
dengan wajah yang merah padam dan genggaman kepalan tangan, dan ia pun tidak
perlu menyampaikan dalil-dalil haramnya perbuatan zina secara eksplisit, namun
Rasulullah mengemas pesan secara bijak dengan menyentuh hati pemuda tersebut
agar nilai-nilai Islam tersampaikan secara baik. Retorika Rasulullah di
sampaikan dengan cara sederhana, tidak menggurui, cerdas, jujur, dan menggugah.
Retorika yang muncul dari pancaran kepribadian yang mempesona, yang istiqomah
perkataan dan perbuatannya.
Rasulullah menerapkan seluruh
prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Quran secara konsisten sehingga tidak
mengherankan kalau peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti
konkret keberhasilan dakwah Rasulullah. Digambarkan, hubungan sosial
masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di
tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri.
Keberhasilan ini tidak lepas dari kemampuan Rasulullah dalam mengkomunikasikan
ajaran-ajaran Islam dengan baik yang didukung oleh kemuliaan budi pekerti. [2]
Dengan demikian, strategi berkomunikasi yang benar mestilah merujuk kepada strategi
Rasulullah dalam berkomunikasi.
Al-Quran sebagai pedoman hidup
manusia telah mengatur prinsip-prinsip berkomunikasi yang baik dengan cara
melakukan komunikasi yang baik, jujur, benar, penuh lemah lembut, dan membekas
dalam jiwa agar ajaran-ajaran Islam dapat dipahami dengan baik oleh ummat.
Perintah komunikasi melibatkan unsur komunikator, pesan, media, komunikan, efek
agar komunikasi dapat berjalan efektif. Efektif maksudnya bahwa pesan yang
disampaikan oleh komunikator dapat dipahami oleh komunikan sehingga menimbulkan
efek yang signifikan terhadap komunikan. Di dalam Al-Quran tidak dijelaskan
secara eksplisit tentang pengertian komunikasi tetapi prinsip-prinsip
komunikasi yang efektif dijelaskan melalui beberapa term dalam beberapa surah
seperti Qaulan Balighan (QS 4:63), Qaulan Maisuran (QS 17:28), Qaulan Kariman
(QS 17:23), Qaulan Ma’rufan (QS 2:235, 4:5&8, 33:32), Qaulan Layyinan (QS
20:44), Qaulan Sadidan (QS 4:9. 33:70). [3] Prinsip-prinsip ini tidak hanya
digunakan dalam kegiatan dakwah tetapi seluruh aspek kehidupan manusia yang
menggunakan kegiatan komunikasi.
Prinsip-Prinsip Komunikasi
Ada beberapa prinsip-prinsip
komunikasi dalam Islam yang akan dijelaskan berikut ini:
1. Qaulan Balighan
Di dalam term al-Quran, term Qaulan
Balighan disebut hanya sekali dalam surah An-Nisa: 63.
“Mereka itu adalah orang-orang yang
(sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.”
Term baligh yang berasal dari ba la
gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain,
atau sampainya mengenai sasaran atau tujuan, juga bisa dimaknai dengan “cukup”
(al-kifayah), sehingga perkataan yang baligh adalah perkataan yang membekas dan
merasuk dalam jiwa manusia. [4]
Dilihat dari definisi di atas, maka
pemahaman tentang balighan termasuk dalam kategori prinsip komunikasi yang
efektif. Pesan harus disampaikan mengenai sasaran dengan metode yang tepat.
Khutbah-khutbah Rasulullah yang disampaikan secara singkat, tapi padat makna
dengan mimik wajah yang serius dan diksi yang menyentuh hati para pendengarnya
adalah salah satu contoh penggunaan qaulan balighan.
2. Qaulan Maisuran
Term ini hanya ditemukan sekali saja
dalam surah Al-Isra ayat 28.
“Dan jika engkau berpaling dari
mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka
katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut.”
Pada prinsipnya, qaulan maisuran
adalah segala bentuk perkataan yang baik, lemah lembut, dan melegakan. [5] Ada
juga yang menjelaskan bahwa qaulan maisuran adalah menjawab dengan cara yang
sangat baik, lemah lembut, dan tidak mengada-ada. Ada juga yang berpendapat
sama dengan pengertian qaulan ma’rufan. Artinya perkataan yang maisur, adalah
ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat
setempat. [6]
Ucapan yang lemah lembut adalah
perisai seorang muslim dalam berkomunikasi. Meskipun konflik perbedaan pendapat
semakin panas tetapi kalau metode penyampaian dapat dilakukan secara lemah
lembut biasanya debat yang terjadi akan terkontrol, namun perkataan lemah
lembut ini tidak muncul begitu saja melainkan harus dilatih dan diiringi dengan
budi pekerti yang baik.
3. Qaulan Kariman
Term ini ditemukan dalam al-Quran
hanya sekali saja dalam surah Al-Isra ayat 23.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada
ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya dengan perkataan yang baik.”
Pemahaman ayat di atas memberikan
petunjuk untuk berbuat baik kepada orang tua khususnya lagi kepada orang tua
yang sudah berusia lanjut untuk tidak mengatakan “ah”, tidak membentak
keduanya, dan diperintahkan mengucapkan perkataan yang baik atau qaulan kariman
kepada mereka.
Dalam hal ini, al-Quran menggunakan
term karim yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan
kepada Allah, misalnya Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa
disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan
prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu
benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya. [7] Namun, jika term
karim dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan
yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa
manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan. [8]
4. Qaulan Ma’rufan
Di dalam al-Quran term ini disebut
empat kali, pertama dalam surah Al-Baqarah ayat 235.
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang
perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu)
dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka.
Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik…”
Kedua, dalam surah An-Nisa ayat 5
“Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik. “
Ketiga, dalam surah An-Nisa ayat 8
“Dan apabila waktu pembagian itu
hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.”
Keempat, dalam surah al-Ahzab ayat
32
“Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak
seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu
tunduk (melemahlembutkan suara), dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang
yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”.
Menurut A. Husnul Hakim IMZI (2008),
kata ma’ruf di dalam al-Quran terdapat sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci
sebagai berikut :
a. Terkait dengan masalah tebusan
dalam masalah pembunuhan, setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiat.
b. Terkait dengan persoalan thalaq,
nafkah, mahar, ‘iddah, pergaulan suami isteri.
c. Terkait dengan dakwah.
d. Terkait dengan pengelolaan harta
anak yatim.
e. Terkait dengan pembicaraan atau
ucapan.
f. Terkait dengan ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Menurut al-Ishfahani, term ma’ruf
menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara. [9]
Dalam beberapa konteks al-Razi juga menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah
perkataan yang baik, menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak
merasa dianggap bodoh. [10] Perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak
bisa memberi atau membantu. [11] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang
sudah dikenal sebagai perkataan yang baik. [12]
5. Qaulan Layyinan
Di dalam al-Quran term Qaulan
Layyinan hanya ditemukan sekali saja dalam surah Thaha ayat 44.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
(Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau
takut.”
Asal makna layyin adalah lembut atau
gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian
kata ini dipinjam untuk menunjukkan perkataan yang lembut. [13] Sementara yang
dimaksud dengan qaulan layyinan adalah perkataan yang mengandung anjuran,
ajakan, pemberian contoh di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain
bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan
pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian,
qaulan layyinan adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah
adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk
kekuatan. [14]
6. Qaulan Sadidan
Di dalam al-Quran term qaulan
sadidan disebutkan dua kali. Pertama dalam surah An-Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut (kepada Allah)
orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang
mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan
tutur kata yang benar.”
Kedua, dalam surah Al-Ahzab ayat 70
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Berkaitan dengan perkataan qaulan
sadidan, ada banyak penafsiran, antara lain perkataan yang jujur dan tepat
sasaran [15], perkataan yang lembut dan mengandung kemuliaan bagi pihak yang
lain [16], pembicaraan yang tepat sasaran dan logis [17], perkataan yang tidak
menyakitkan pihak lain [18], perkataan yang memiliki kesesuaian antara apa yang
diucapkan dengan apa yang di dalam hatinya [19]
Realitas dan Solusi
Dari uraian di atas jelas terlihat
prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam yang sumbernya berasal dari al-Quran
mengajarkan kita berkomunikasi secara jujur, benar, rasional, lemah lembut,
tidak menyakiti perasaan orang lain, tidak memandang rendah orang lain, tidak
munafik, padat makna dan tepat sasaran, istiqomah antara ucapan, hati dan
perbuatan, pernyataan membekas dalam jiwa, ajakan berbuat kebaikan, tidak
mengada-ada dan komunikasi yang membawa kebaikan dan manfaat kepada orang lain.
Namun secara realitas
prinsip-prinsip ini belum terlaksana dengan baik dalam kehidupan manusia. Dalam
konteks kegiatan dakwah, para da’i dan aktivis masih banyak menggunakan metode
komunikasi koersif atau memaksa kepada mad’unya atau objek dakwah dalam
melaksanakan perintah Allah, pesan yang disampaikan sesuai dengan al-Quran dan
as-Sunnah tetapi menggunakan cara yang kurang simpatik, sehingga sebahagian
para jamaah meninggalkan acara-acara pegajian atau sebahagian para jamaah
mengatakan bahwa isi dakwah hanya berbicara tentang surga dan neraka saja.
Kadang-kadang hal ini juga temukan dalam dakwah yang dilakukan di dalam rumah,
para pemuda-pemudi Muslim yang baru saja mendapatkan ilmu agama dari para
ustadz-ustadzahnya menyampaikan ilmunya dengan cara yang melukai hati orang tua
atau para kerabat. Mereka menganggap bahwa kebenaran itu wajib disampaikan
meskipun pahit. Tentunya tidak ada yang salah dengan pesan yang disampaikan
tetapi metode yang tidak bijak dapat menimbulkan persoalan yang baru. Keluarga
bisa semakin jauh dengan dakwah yang kita lakukan.
Dalam dunia pendidikan, ini pun
banyak terjadi, pendidik menyampaikan ilmu kepada siswa atau mahasiswa dengan
menggunakan pendekatan dan komunikasi yang kaku, alergi terhadap kritik dari
anak didik, menganggap dirinya (pendidik) adalah satu-satunya sumber kebenaran,
padahal ilmu itu dapat berkembang melalui adu kritik yang cerdas, sehat dan
terkontrol. Di dalam pergaulan sehari-hari, kita masih sangat sering menemukan
percekcokan yang bermuara kepada tingkat kriminal yang serius (misalnya:
pembunuhan, penikaman, pembakaran, perkelahian massal) karena kata-kata kasar
yang tidak dipikirkan atau karena hal-hal yang sepele tetapi tidak diiringi
oleh permintaan maaf. Penulis pernah melihat kejadian nyata di jalan
Jatiwaringin, Jakarta Timur, ketika sopir mikrolet menyenggol secara tidak sengaja
sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang pilot yang akan bergegas ke bandara,
dengan kata-kata kasar penuh amarah sang pilot memaki-maki sang sopir. Saya
hanya trenyuh melihat kejadian seperti ini. Persoalan sepele dapat menjadi
pemicu keluarnya kata-kata kasar yang melukai.
Dalam dunia keluarga, komunikasi
yang tidak Islami masih sangat sering terjadi, seorang ibu memaki-maki anak
yang berusia 2 tahun karena menumpahkan semangkok bakso di atas karpet ruang
tamu, padahal anak yang berusia 2 tahun itu belum bisa bernalar dengan baik.
Atau seorang suami yang memarahi isterinya dengan kata penuh celaan karena
terlambat menyajikan makanan tepat waktu. Atau sebaliknya seorang isteri
mengucapkan kata-kasar kepada suami karena memberikan nafkah yang tidak cukup
kepadanya. Atau seorang kakak yang cekcok kepada adiknya karena menggunakan
motor kesayangannya tanpa seizinnya. Ketidakharmonisan komunikasi dalam
keluarga ini sangat sering terjadi, padahal yang kita sakiti adalah orang-orang
yang kita cintai atas nama Allah. Semestinya penerapan komunikasi yang Islami
dan baik mestilah berawal dari rumah karena rumah adalah sekolah pertama untuk
berkomunikasi dengan penuh kasih sayang bagi penghuninya sebelum mereka keluar
dan melakukan interaksi dengan komunitas yang lain.
Hal ini juga semakin diperburuk oleh
tayangan dalam sebahagian besar televisi yang sering mempertontonkan
dialog-dialog kasar dalam beberapa program TV. Dialog tersebut bisa berbentuk
kata-kata ejekan, celaan yang merendahkan kaum minoritas seperti orang-orang
cacat dan pembantu atau perkataan yang mengeksploitasi unsur-unsur seksual
terhadap perempuan atau perkataan yang tidak santun terhadap orang tua, guru
dan kerabat yang seharusnya kita hormati. Tragisnya tayangan-tayangan ini
dinikmati oleh anggota keluarga kita tanpa disadari bahwa televisi dapat
menjadi ‘guru’ dalam membentuk model komunikasi yang buruk.
Solusi untuk semua ini, mestilah
berawal dari kesadaran bahwa setiap apa yang kita ucapkan dalam bentuk
perkataan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahuwataala di
hari akhirat kelak. Hal ini jelas dalam firman-Nya, surah An-Nur: 24 “Pada
hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap
apa yang dahulu mereka kerjakan.” Dengan kesadaran seperti ini, tentunya akan
berfungsi sebagai alat kontrol setiap perkataan yang akan kita ucapkan. Kedua,
belajar untuk melatih diri berkomunikasi secara baik terhadap orang tua,
kerabat, guru, tetangga, kolega dan sesama manusia. Sebab komunikasi yang baik
akan muncul dari kebiasaan yang baik. Ketiga, memperkecil mudharat dari
komunikasi negatif yang kita lakukan. Misalnya menahan mengucapkan perkataan
kasar ketika sedang marah. Tidak menyindir terlalu berlebihan ketika sedang
kesal terhadap seseorang. Keempat, berdoa agar terhindar dari ucapan yang buruk
dan dosa-dosa lisan. Dengan demikian, dunia ini akan semakin damai dengan
penerapan prinsip-prinsip komunikasi yang Islami. Semoga.
Glugor, P.Penang, 13022010
(Penulis adalah alumni of Media and
Communication Studies (MENTION), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), pernah
mengajar di FISIP Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, kini
menetap bersama suami di Pulau Penang, Malaysia ).
2.3 Etika Komunikasi dalam
Perspektif Islam
Dalam persperktif Islam, komunikasi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala
gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud
adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi yang berakhlak al-karimah atau
beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan hadits. A. Muis (2001:720) mengatakan komunikasi
islami memiliki perbedaan dengan non-islami. Perbedaan itu lebih pada isi pesan
(content) komunikasi yang harus terikat perintah agama, dan dengan sendirinya
pula unsur content mengikat unsure komunikator. Artinya, komunikator harus
memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam menyampaikan pesan
berbicara, berpidato, berkhotbah, berceramah, menyiarkan berita, menulis
artikel, mewawancarai, mengkritik, melukis, menyanyi, bermain film, bermain
sandiwara di panggung pertunjukan, menari, berolahraga, dan sebagainya.
Kemudian, seorang komunikator tidak boleh menggunakan simbol-simbol atau kata-kata yang kasar, yang menyinggung perasaan komunikan atau khalayak, juga tidak boleh memperlihatkan gerak-gerik, perilaku, cara pakaian yang menyalahi kaidah-kaidah agama.
Untuk lebih jelasnya, dapat ditemukan beberapa prinsip etika komunikasi dalam Al-Qur’an dan hadits, antara lain:
1. …. dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah: 83).
2. Perkataan yang baik dan pemberi maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah: 263).
3. ……sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…. (QS. Ali Imran: 154).
4. Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya (QS. An-Nisaa: 154).
5. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…. (QS. Thaahaa: 44).
6. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang baik (benar) (QS. An-Nahl: 53).
7. Serukanlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula (QS. An-Nahl: 125).
8. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu menyatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar murka Allah apabila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. An-Naba’: 2-3).
9. Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahat menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung keislaman) (QS. Al-Furqaan: 63).
10. Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang lain di antara mereka (QS. Al-‘Ankabuut: 460).
Di dalam hadits Nabi juga, ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaimana Rasulullah saw mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Sabda Nabi bisa ditafsirkan bahwa dalam berkomunikasi hendaklah bersikap jujur, terbuka dan benar, walau dalam penyampaian kebenaran itu penuh risiko. Pembicaraan kita juga hendaklah yang baik dan benar sehingga bermanfaat bagi yang lain. Kalau tidak bermanfaat, diam adalah alternatif yang terbaik.
Selanjutnya, janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu, artinya apabila kita ingin berkomunikasi dengan orang lain, tidak asal berbicara, harus berhati-hati dan memiliki manfaat bagi orang lain. Nabi juga menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, dalam konteks ini Nabi mengingatkan kepada kita untuk tidak membicarakan aib orang lain di saat dia tidak ada di hadapan kita.
Nabi berpesan “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang….yaitu mereka yang menjungkir balikkan (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya. Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami. Jangan sekali-kali berbicara memutarbalikan fakta, yang benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar. Bila ini terjadi, kita telah melakukan kebohongan besar, dan pantas disebut sangat tidak bermoral. Selain tidak etis dalam berkomunikasi, juga telah berbuat dosa besar.
Prinsip-prinsip etika tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim – ketika melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. Prinsip ini juga dapat membantu memelihara hubungan yang harmonis di antara sesama kita. Membangun komunitas sosial yang damai, tenteram dan sejahtera sehingga terbentuk peradaban manusia yang tinggi.
Kemudian, seorang komunikator tidak boleh menggunakan simbol-simbol atau kata-kata yang kasar, yang menyinggung perasaan komunikan atau khalayak, juga tidak boleh memperlihatkan gerak-gerik, perilaku, cara pakaian yang menyalahi kaidah-kaidah agama.
Untuk lebih jelasnya, dapat ditemukan beberapa prinsip etika komunikasi dalam Al-Qur’an dan hadits, antara lain:
1. …. dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah: 83).
2. Perkataan yang baik dan pemberi maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah: 263).
3. ……sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…. (QS. Ali Imran: 154).
4. Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya (QS. An-Nisaa: 154).
5. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…. (QS. Thaahaa: 44).
6. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang baik (benar) (QS. An-Nahl: 53).
7. Serukanlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula (QS. An-Nahl: 125).
8. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu menyatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar murka Allah apabila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. An-Naba’: 2-3).
9. Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahat menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung keislaman) (QS. Al-Furqaan: 63).
10. Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang lain di antara mereka (QS. Al-‘Ankabuut: 460).
Di dalam hadits Nabi juga, ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaimana Rasulullah saw mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Sabda Nabi bisa ditafsirkan bahwa dalam berkomunikasi hendaklah bersikap jujur, terbuka dan benar, walau dalam penyampaian kebenaran itu penuh risiko. Pembicaraan kita juga hendaklah yang baik dan benar sehingga bermanfaat bagi yang lain. Kalau tidak bermanfaat, diam adalah alternatif yang terbaik.
Selanjutnya, janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu, artinya apabila kita ingin berkomunikasi dengan orang lain, tidak asal berbicara, harus berhati-hati dan memiliki manfaat bagi orang lain. Nabi juga menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, dalam konteks ini Nabi mengingatkan kepada kita untuk tidak membicarakan aib orang lain di saat dia tidak ada di hadapan kita.
Nabi berpesan “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang….yaitu mereka yang menjungkir balikkan (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya. Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami. Jangan sekali-kali berbicara memutarbalikan fakta, yang benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar. Bila ini terjadi, kita telah melakukan kebohongan besar, dan pantas disebut sangat tidak bermoral. Selain tidak etis dalam berkomunikasi, juga telah berbuat dosa besar.
Prinsip-prinsip etika tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim – ketika melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. Prinsip ini juga dapat membantu memelihara hubungan yang harmonis di antara sesama kita. Membangun komunitas sosial yang damai, tenteram dan sejahtera sehingga terbentuk peradaban manusia yang tinggi.
2.4 Etika
Komunikasi Dalam Al-Quran dan Hadits
Menurut A. Samover “ We Cannot Not
Communicate” oleh karena itu,manusia tidak dapat terhindar dalam interaksi
sesamanya. Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan
berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat
mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam
perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni :
1. Qaulan Sadida
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. 4:9)
Sadied menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida dengan : kata yang lurus (qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, correct,tepat (Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan; karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati. Dalam lisanul A’rab Ibnu Manzur berkata bahwa kata sadied yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti sebagai sasaran.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas,dapatlah dikatakan bahwa yang dihubungkan dengan kegiatan penyampaian pesan dakwah adalah model dari pendekatan bahasa dakwah yang bernuansa persuasife. Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa, Qaulan Sadida adalah perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi.
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
Seorang muslim berkata harus benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta, selanjutnya kita akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu seterusnya, sehingga bibir kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak ingin dibohongi, seorang istri akan sangat sakit hatinya bila ketahuan suaminya berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumnya yaitu Al Quran dan hadits.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
2. Qaulan Baligha (Perkataan Yang Membekas Pada Jiwa)
Ungkapan qaulan baligha terdapat pada surah an-Nisa ayat 63
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan baligha menjadi dua,qaulan balighaterjadi bila da’i (komunikator) menyesuaian pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya sesuai dengan frame of reference and field of experience. Kedua,qaulan baligha terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.
Jika dicermati pengertian qaulan baligha yang diungkapkan oleh jalaluddin rahmat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kata Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
Sebagai orang yang bijak bila berdakwah kita harus melihat stuasi dan kondisi yang tepat dan menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara dengan anak-anak kita harus berkata sesuai dengan pikiran mereka, bila dengan remaja kita harus mengerti dunia mereka. Jangan sampai kita berdakwah tentang teknologi nuklir dihadapan jamaah yang berusia lanjut yang tentu sangat tidak tepat sasaran, malah membuat mereka semakin bingung..Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka”(H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4).
3. Qaulan Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
Jalaluddin rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah.qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material,kita harus dapat membantu psikologi.
Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman,perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam QS An-Nissa ayat 5 dan 8, QS. Al-Baqarah ayat 235 dan 263, serta Al-Ahzab ayat 32.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).
“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).
4. Qaulan Karima (Perkataan Yang Mulia)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).
Dakwah dengan qaulan karima adalah orang yang telah lanjut usia,pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia, santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri,yankni hormat dan tidak kasar kepadanya,karena manusia meskipun telah mencapai usia lanjut,bisa saja berbuat salah atau melakukan hal-hal yang sasat menurutukuran agama. Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.
5. Qaulan Layyinan (Perkataan Yang Lembut)
Term qaulan layyinan tardapat dalam surah Thaha ayat 43-44 secara harfiah berarti komunikasi yang lemah lembut (layyin)
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-lembut…” (QS. Thaha: 44).
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)
6. Qaulan Maisura (Perkataan Yang Ringan)
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).
Istilah Qaulan Maisura tersebut dalam Al-Isra. Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argument-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan Qaulan Maisura harus menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari:
· Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
· Orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat.
· Masyarakat yang secara sosial berada dibawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal. http://nitayulianty99.blogspot.co.id/2013/03/etika-komunikasi-dalam-perspektif-umum.html#sthash.sUHOGyaQ.dpuf
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni :
1. Qaulan Sadida
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. 4:9)
Sadied menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida dengan : kata yang lurus (qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, correct,tepat (Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan; karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati. Dalam lisanul A’rab Ibnu Manzur berkata bahwa kata sadied yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti sebagai sasaran.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas,dapatlah dikatakan bahwa yang dihubungkan dengan kegiatan penyampaian pesan dakwah adalah model dari pendekatan bahasa dakwah yang bernuansa persuasife. Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa, Qaulan Sadida adalah perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi.
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
Seorang muslim berkata harus benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta, selanjutnya kita akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu seterusnya, sehingga bibir kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak ingin dibohongi, seorang istri akan sangat sakit hatinya bila ketahuan suaminya berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumnya yaitu Al Quran dan hadits.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
2. Qaulan Baligha (Perkataan Yang Membekas Pada Jiwa)
Ungkapan qaulan baligha terdapat pada surah an-Nisa ayat 63
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan baligha menjadi dua,qaulan balighaterjadi bila da’i (komunikator) menyesuaian pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya sesuai dengan frame of reference and field of experience. Kedua,qaulan baligha terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.
Jika dicermati pengertian qaulan baligha yang diungkapkan oleh jalaluddin rahmat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kata Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
Sebagai orang yang bijak bila berdakwah kita harus melihat stuasi dan kondisi yang tepat dan menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara dengan anak-anak kita harus berkata sesuai dengan pikiran mereka, bila dengan remaja kita harus mengerti dunia mereka. Jangan sampai kita berdakwah tentang teknologi nuklir dihadapan jamaah yang berusia lanjut yang tentu sangat tidak tepat sasaran, malah membuat mereka semakin bingung..Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka”(H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4).
3. Qaulan Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
Jalaluddin rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah.qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material,kita harus dapat membantu psikologi.
Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman,perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam QS An-Nissa ayat 5 dan 8, QS. Al-Baqarah ayat 235 dan 263, serta Al-Ahzab ayat 32.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).
“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).
4. Qaulan Karima (Perkataan Yang Mulia)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).
Dakwah dengan qaulan karima adalah orang yang telah lanjut usia,pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia, santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri,yankni hormat dan tidak kasar kepadanya,karena manusia meskipun telah mencapai usia lanjut,bisa saja berbuat salah atau melakukan hal-hal yang sasat menurutukuran agama. Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.
5. Qaulan Layyinan (Perkataan Yang Lembut)
Term qaulan layyinan tardapat dalam surah Thaha ayat 43-44 secara harfiah berarti komunikasi yang lemah lembut (layyin)
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-lembut…” (QS. Thaha: 44).
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)
6. Qaulan Maisura (Perkataan Yang Ringan)
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).
Istilah Qaulan Maisura tersebut dalam Al-Isra. Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argument-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan Qaulan Maisura harus menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari:
· Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
· Orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat.
· Masyarakat yang secara sosial berada dibawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal. http://nitayulianty99.blogspot.co.id/2013/03/etika-komunikasi-dalam-perspektif-umum.html#sthash.sUHOGyaQ.dpuf
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Komunikasi Islam dengan demikian
dapat didefensikan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepadakomunikan dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang
sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis.
2.
Ada beberapa prinsip-prinsip
komunikasi dalam Islam yang akan dijelaskan berikut ini:
·
Qaulan Balighan
·
Qaulan Maisuran
·
Qaulan Kariman
·
Qaulan
Sadidan
·
Qaulan Layyinan
·
Qaulan Ma’rufan
3.
Beberapa prinsip etika komunikasi
dalam Al-Qur’an dan hadits, antara lain:
1. …. dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah: 83).
2. Perkataan yang baik dan pemberi maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah: 263).
3. ……sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…. (QS. Ali Imran: 154).
4. Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya (QS. An-Nisaa: 154).
5. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…. (QS. Thaahaa: 44).
6. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang baik (benar) (QS. An-Nahl: 53).
7. Serukanlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula (QS. An-Nahl: 125).
8. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu menyatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar murka Allah apabila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. An-Naba’: 2-3).
9. Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahat menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung keislaman) (QS. Al-Furqaan: 63).
10. Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang lain di antara mereka (QS. Al-‘Ankabuut: 460).
1. …. dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah: 83).
2. Perkataan yang baik dan pemberi maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah: 263).
3. ……sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…. (QS. Ali Imran: 154).
4. Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya (QS. An-Nisaa: 154).
5. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…. (QS. Thaahaa: 44).
6. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang baik (benar) (QS. An-Nahl: 53).
7. Serukanlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula (QS. An-Nahl: 125).
8. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu menyatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar murka Allah apabila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. An-Naba’: 2-3).
9. Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahat menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung keislaman) (QS. Al-Furqaan: 63).
10. Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang lain di antara mereka (QS. Al-‘Ankabuut: 460).
4.
Enam jenis gaya bicara atau pembicaraan
(qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi
Islam, yakni :
·
Qaulan
Sadida
·
Qaulan
Baligha (Perkataan Yang Membekas Pada Jiwa)
·
Qaulan
Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
·
Qaulan
Karima (Perkataan Yang Mulia)
·
Qaulan
Layyinan (Perkataan Yang Lembut)
·
Qaulan
Maisura (Perkataan Yang Ringan)
3.2 Saran
1. Dengan penugasan membuat karya
tulis seperti ini, maka akan membuka cakrawala berfikir yang tentunya hal itu
sangat berdampak positif bagi perkembangan kreatifitas seseorang.
2. Kepada seluruh pembaca dapat
memberikan kritikan yang bersifat membangun sehingga apa yang diharapkan dari
isi tulisan ini dapat berguna bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
http://etikaberkomunikasi.blogspot.co.id/
(diakses tanggal 11 Desember 2015)
http://adamfernandinho.blogspot.co.id/2011/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
(diakses tanggal 11 Desember 2015)
http://www.psikologizone.com/dampak-psikologis-teknologi-komunikasi
(diakses tanggal 11 April 2013)
http://nitayulianty99.blogspot.co.id/2013/03/etika-komunikasi-dalam-perspektif-umum.html#sthash.sUHOGyaQ.dpuf
(diakses tanggal 19 Desember 2015)
http http://nitayulianty99.blogspot.co.id/2013/03/etika-komunikasi-dalam-perspektif-umum.html#sthash.sUHOGyaQ.dpuf
(diakses tanggal 19 Desember
2015)